Berteman dengan Emosi
Semenjak aku aktif di Instagram, Whatsapp dan blog, dari tulisan di blog personalku, banyak orang yang mulai mengirimi aku short message untuk meminta saran walaupun aku belum banyak experience dalam banyak ragam kondisi yang mereka ingin aku solving. Tapi dari semua itu, pertanyaan yang paling banyak muncul dan menarik untuk dibahas adalah bagaimana cara menghadapi emosi negatif yang begitu kuat, misal rasa amarah, rasa benci dan rasa dengki.
Untungnya, beberapa dari mereka yang menanyakan perihal ini sudah setengah jalan menemukan caranya. Dengan menanyakan hal ini, sepertinya mereka munjukkan bahwa mereka cukup sadar untuk melihat adanya aura negatif terutama dalam batin, sesuatu yang yes tidak mudah untuk dilakukan. Kebanyakan orang biasanya terlarut dalam emosi masing-masing dan memiliki kesadaran yang pastinya limited/terbatas. Secara gak langsung, mereka yang menanyakan perihal ini kepadaku menyadari apa yang terjadi dalam batin/benak mereka ketika sedang terbawa arus pusaran emosi negatif, kemudian berusaha menahan diri (hold their self) dan terketuk untuk mengirimi aku pesan.
Ketika seseorang merasakan emosi negatif, kira-kira dorongan pertama yang muncul apa ya? Hasrat! Hasrat untuk mengontrol emosi tersebut agar gak terlarut atau terbawa olehnya. Keinginan lain pasti ingin menyingkirkan emosi negatif tersebut atau menghindarinya. Jarang sekali berpiki emosi negatif sesungguhnya memerlukan pemahaman yang lebih mendalam. Mungkin ini juga yah sebabnya banyak orang menggunakan istilah "mengatasi kebencian" dan bukannya "berteman dengan emosi kita", ya gak? Yang berasumsi sama, tulis komentar dibawah ya.
Rasanya sukar banget untuk mengendalikan emosi negatif dengan cepat, semakin keras kita mencoba untuk memanage, emosi itu pasti akan semakin kacau dan cepat muncul kembali. Bahkan, saat kita merasa berhasil mengendalikannya dengan baik, bisa jadi kita hanya menguburnya sesaat dan sewaktu-waktu bakal muncul dan kembali meluap, meledak dong. Coba imagine emosi negatif yang kuat itu layaknya lumpur, lumpur yang mengotori akuarium (kalo kalian pernah punya atau ngeliat). Supaya lumpur itu bisa mengendap di dasar akuarium, sehingga kita bisa melihat ikan didalamnya lebih clear, kita tentu tidak ingin memasukkan tangan ke air berlumpur itu dan mendorong lumpur hingga ke dasar akuarium. Karena apa? Semakin kita berusaha menekannya ke dasar, pasti lumpurnya semakin tersebar dong ke seluruh sisi akuarium.
Sama seperti kita saat hendak mengontrol emosi negatif yang dirasakan saat ini, kita maybe berusaha mendorongnya ke dalam. Tapi.. semakin keras kita berusaha, mungkin emosi itu akan kembali muncul ke permukaan yang kita gak tau kapan bakal muncul lagi.
Terus apa yang mesti kita perbuat? Bagaimana agar bisa memahami emosi negatif tersebut dan berusaha mengatasinya bukan malah menguburnya? Jawabannya cukup simple sih. Yang mesti dilakukan adalah memisahkan, separate pure energy yang terkandung dalam emosi negatif dari label nya, misalnya nih ya kemarahan atau kebencian, lalu mendiamkannya dalam ketenangan hingga akhirnya energi itu menjelma menjadi bentuk atau sesuatu yang lain. Yang terpenting disini adalah kita tidak boleh terpaku pada kata-kata seperti amarah, benci dan dengki, tetapi kita harus sadar adanya energi di balik label kata tersebut. Walaupun tanpa disadari, energi senantiasa berubah secara dinamis, sementara label tetap statis/stuck stabil. Jika kita melepas label itu dan bersentuhan langsung dengan energi murni tersebut, kita akan segera menyadari bahwa emosi negatif itu sifatnya temporarily/sementara aja, seseuatu yang akan berubah sendirinya tanpa perlu usaha yang keras sih.
Oleh karena itu, persis layaknya cermin yang merefleksikan apa yang ada dihadapannya tanpa menilai atau memandang apa objeknya, kita juga tinggal merefleksikan emosi negatif misal amarah dan menunggunya dengan tenang. Kita akan melihat kemarahan itu perlahan beralih form/bentuk, entah menampilkan emosi lain yang lebih dalam atau bahkan akan menghilang dengan sendirinya. Apabila timbul emosi lain, berarti mesti disikapi emosi tersebut dengan cara yang sama yang udah aku jelasin diatas.
Saat kita mencoba untuk memahami sesuatu, cara yang paling efektif adalah membuang jauh-jauh prasangka dan mengamati dalam diam sehingga objek yang kita amati akan menunjukkan apa yang seharusnya kita pahami. Alih-alih menyelam ke dalam air keruh berisi emosi negatif agar dapat menaklukkannya, kita hendaknya mengamati terlebih dulu dari luar dan membiarkan emosi tersebut mereda dan berubah dengan sendirinya. Menaruh perhatian kepada sesuatu tanpa menilainya bukan hanya perwujudan tertinggi dari kecerdasan manusia, tetapi juga merupakan perwujudan ekspresi kasih sayang. Kita haruslah mengamati perubahan energi dengan penuh perhatian dan penuh cinta saat energi itu mulai muncul dalam batin kita.
Mungkin banyak yang bertanya, "Terus apa gunanya hanya mengamati?" Bukankah itu sama saja dengan menghindari kenyataan/realitas?" Jawabannya justru sebaliknya sih, kita bukan menghindari realitas, malah berhadapan langsung dengannya. Bukannya terlarut dalam emosi tanpa adanya kesadaran diri, kita memeriksa dan merasakan apa yang ada di dalam kenyataan. Ketika kita sudah mulai terbiasa, kita akan sadar emosi negatif tersebut sesungguhnya bukan realitas yang pasti. Secara alami emosi negatif akan muncul dan mereda di dalam kesadaran kita, mau gak mau. Saat kita memahami kebenaran ini, kita tidak akan mudah goyah oleh emosi negatif tersebut dan bisa dengan mudah menganggapnya seperti awan mendung yang bergerak dan bukan menganggapnya sebagai bagian penting dalam diri kita.
So, jangan emosi negatif yang timbul jangan dilawan tetapi amati dan mencoba berteman dengannya. Sekian...
Oke, aku dapat quote dari seorang Buddis :
"Jika ada hasrat balas dendam karena sakit hati, maka yang kita lihat hanyalah penderitaan sendiri. Tapi, jika kita menenangkan diri dan melihat lebih ke inti dalam, maka kita akan melihat bahwa orang yang menyakiti kita juga menderita"
0 Response to "Berteman dengan Emosi "
Posting Komentar