MAUT DALAM KENDALI
Narasi ini menjelaskan terkait mekanisme bertahan yang membantu dalam mengendalikan rasa takut yang tidak dapat dijelaskan tentang kecelakaan pesawat dan kematian. Kadang tersadar bagi anak rantauan ketika balik ke kampung halaman melalui jalur udara. Dari keterkaitan pemikiran tentang kecelakaan pesawat dan kematian ini, saya menyadari jika diri saya gagal menerima kematian sebagai sesuatu yang tak terelakkan, saya tak akan bisa menjalani hidup sepenuhnya dan berjanji untuk berupaya menerima suratan takdir. Terlintas bahwa pesawat mungkin akan membunuhmu tapi mungkin tidak akan menyakitimu.
Saat masih muda, saya jarang memikirkan tentang kematian. Orang-orang dalam keluarga saya berumur panjang, dan tak ada orang dekat yang meninggal dunia sampai saya telah lama menginjak usia dewasa di umur saya 22 tahun ini. Tak ada pemakaman, tak ada kerabat yang sakit, hanya ada orang-orang yang menjalani hidup masing-masing, hari demi hari. Sebaliknya, ikan emas dan koi peliharaan saya memiliki tingkat kematian tinggi, kenapa? karena tidak bisa bertahan dalam larutan kimia permbersih air, tapi meskipun saya seidh pada suatu ketika saya banguan paginya dan melihat mereka mengambang di permukaan air, saya tinggal membei ikan yang baru dan kemudian melanjutkan hidup. Jadi saya tidak dapat menjelaskan mengapa, pada usia 21 tahun lalu, saya tiba-tiba dicekam rasa takut melumpuhkan bahwa saya akan mati dalam kecelakaan pesawat. Saya sudah sering berpergian dengan menaiki pesawat sejak merantau, dan merasa nyaman-girang, bahwa dengan prospek perjalanan untuk kuliah, tapi sekonyong-konyong, pada malah hari sebelum penerbangan, saya akan tersiksa oleh gambar-gambar hidup tentang jatuh dari langit, dan menghabiskan malam dalam keadaan gelisah serta tak bisa tidur. Sebenarnya saya tidak takut terbang, tapi saya takut mati ketika ada sesuatu yang tidak beres. Saya membaca perihal tentang kecelakaan-kecelakaan pesawat-dimulai saat lepas landas dan pendaratan biasanya adalah masa-masa berbahaya. Jadi, begitu sudah di udara, saya kan merileks, dan mulai menikmati berada di dalam pesawat, tenggelam dalam buku serta pemikiran saya tentunya. Tapi setiap guncangan, getaran dan bunyi yang tak disangka-sangka akan mencetuskan kewaspadaan saya; saya akan mendengarkan dengan saksama, mencari-cari pintu keluar terdekat. Imajinasi saya meliar, memikirkan skenario pendaratan di air, skenario kebakaran, dan skenario terjun bebas ke bumi. Saya membayangkan diri saya luar biasa ketakutan dan berkomat-kamit di tempat duduk, atau bersikap membantu, berani, serta tak mementingkan diri ketika menghadapi bencana. Saya akan menjadi orang pertama yang merangkak keluar dari pesawat. Saya akan bersikap tenang dan tak gentap menghadapi nasib. Saya akan terisak-isak histeris, memohon untuk diselamatkan. Kadang-kadang yah saya melihat diri saya selamat untuk menyampaikan kisah itu, berani dan lebam-lebam di hadapan kamera TV; tapi sering kalinya, saya membayangkan diri saya berakhir tewas.
Bisa saja saya mengatakan bahwa saya ketakutan itu adalah bagian normal dari pendewasaan dan saya akhirnya menjadi lebih berpikiran sehat, tapi itu berarti saya berbohong. Radanya hal itu sudah merasuk ke dalam jiwa saya, dengan tegas terpancang pada cara saya memandang dunia. Batu itu keras air itu basah, dan saya akan mati dalam kecelakaan pesawat. Saya akan menggunakan pesawat jika terpaksa, tapi tidak dengan senang hati, dan menghindarinya sebisa mungkin. Akhirnya, saat usia saya awal 22 tahunan, saya merasa terkungkung oleh keengganan saya untuk terbang, Sekarang, saya seorang penmpang pesawat yang kompeten, meski skenario ketakutan itu masih mengintai di pinggiran kesadaran saya. Dan sebelum saya pergi ke bandara, saya menelepon atau mengirim e-mail pada semua orang yang saya cintai supaya saya tidak menyesal karena tidak sempat mengucapkan kata-kata terkahir kepada mereka; saya meninggalkan semua berkas penting dan nomor telepon serta alamat keluarga saya dalam karton manila di konter dapur supaya orang-orang akan mengetahui siapa yang harus dihubungi dan saya membuat banyak salinan foto yang saya ambil ketika berkunjung lalu menyebarkannya kepada mereka sebelum perjalanan pulang, berjaga-jaga kalau saya mti sebelum punya kesempatan mengirimkannya kerumah.
Meskipun biasanya saya dapat menggeleng-geleng dan menertawai kekonyolan saya sendiri, saya juga berjanji pada diri sendiri bahwa jika saya mulai dikuasai ketakutan, dan visi saya mulai jadi sangat spesifik, saya akan memperlakukan mereka sebagai firasat dan saya tidak akan jadi terbang. Saya akui saya pernah beberapa kali mengalami ketika kegelapan itu turun dengan begitu cepat dan begitu meluas di benak dan pemikiran saya begitu mengancam sehingga saya hampir membatalkan perjalanan. Itu adalah bagian dari proses pemilahan yang halus dari saya-apakah saya benar-benar berpikir diri saya akan mati, atau ii hanya gara-gara rekaman lama itu? Dan bagaimana saya bisa tahu pasti, kecuali bahwa suatu hari nanti saya akan menegur diri sendiri karena menaiki pesawat padahal seharusnya saya tetap di darat. Ups! Haha itu kesalahan saya!
Saya menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa, membedah, dan mencoba memahami ada apa tentang pesawat yang meyakinkan saya bahwa saya akan mati. Jelas ini bukan soal statistika guys. Angkanya menyebutkan bahwa justru berkendara menggunakan mobillah yang saya lakukan dengan lumayan antusias dalam menempuh perjalanan pendek dan panjang, yang lebih mungkin membunuh saya daripada perjalanan lewat udara. Tapi, ada tapinya, meskipun saya sadar bahwa mungkin saya akan tewas dalam kecelakaan mobil, ada satu keyakinan, ilusi, dan delusi ini-terserah bagaimana pun anda menyebutnya ya- bahwa kemampuan dan kecekatan saya akan menguntungkan saya, bahwa saya memiliki kendali. Saya dapat memutar roda kemudi ke sini atau ke sana, menginjak pedal rem dalam-dalam, dan berkelit menghindari lubang di jalanan. Namun, yang lebih baik lagi, saya berada di darat, tidak tergantung di tengah-tengah udara, tidak memercayakan nyawa saya pada seorang pilot yang mungkin kurang tidur, atau diam-diam punya masalah dengan alkohol, dan pada pesawat yang mungkin rusak dalam cara yang permanen dan mematikan di mana saya tak berdaya untuk mencegahnya.
Jadi ya, masalah besar dalam hubungan disfungsional saya dengan maut melibatkan soal kendali. Saya pernah membaca sekilas yang berisi dimana saya tahu bahwa betapa sia-sianya melarikan diri ke kota lain ketika Maut muncul di kampung halaman kita. Kematian adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan, dan slah satu hal yang sama-sama dimiliki manuaia, Setiap orang ya, dimana-mana, pada setiap menit dalam waktu, memiliki penyakit mematikan yang bernama KEHIDUPAN, dimana tak seorang pun bisa lolos darinya hidup-hidup. Saya tidak masalah dengan hal itu, sungguh. Saya tidak takut mati, saya hanya tidak menyukap prospek yang disingkirkan dari medan permainan tanpa bisa mengungkapkan pendapat saya dalam hal ini.
Belum lagi soal perasaan tersiksanya. Jatuh dari langit akan terasa sangat menyiksa. Menjelang kematian karena sakit parah juga menyiksa. Dipukuli sampai mati juga akan menyiksa. Beri saya kematian yang cepat, entah itu ditembak sampai mati, terkena serangan jantung dan stroke fatal, biarkan saya mati dalam tidur, tapi jangan membuat saya menderita. Saya takut menderita. Saya tahu, saya tahu, dan kemudian saya tahu orang-orang romantis seharusnya jatuh cinta dengan penderitaan ereka. Dan, akan saya akui, dulu saya begitu. Seorang teman saya berkata bahwa saya kerap melatih drama dari trauma kehidupan saya. Tapi sesuatu terjadi ketika kita menjadi sadar akan mekanisme kepribadian kita sendiri; lebih sulit untuk membiarkan mereka meliar tak terkendali. Satu efek sampingnya adalah bahwa penderitaan dan saya tidak memiliki hubungan yang baik akhir-akhir ini. Itu dapat benar-benar merusak kesenangan dari menjalani kehidupan saya belakangan ini.
jadi, saya tidak hanya ingin dapat mengendalikan waktu dan cara saya mati, saya juga ingin mengendalikan seberapa besar penderitaan saya, dan jika diperluas lagi, seberapa besar penderitaan orang-orang yang saya kasihi. Sering kali saya tanpa pamrih, kematian menyakitkan tak akan menjadi pengalaman yang sanggup saya lewati, dan tak akan mau sya lewati. Bahkan saat saya menuliskan hal ini, saya tahu saya perlu menemukan sumber asing bagi saya yang memungkinkan saya bisa mengatasi, tapi saya tak akan pernah tahu pasti sampai waktunya tiba. Mungkin kami semua akan meninggal dunia dalam damai, dan pemikiran yang dipenuhi ketakutan ini sekadar pemikiran belaka ya. Tapi ketika saya bayangkan diri saya atau orang-orang yang saya kasihi dikuasai penderitaan atau teror, jantung saya rasanya mau copot dan tiba-tiba saya menjadi kesulitan bernapas.
Dalam menghadapi strategi kehilangan yang sangat gigih ini, saya haris mengembangkan mekanisme perlindungan diri yang kokoh. Langkah pertama adalah dengan mengidentifikasi dimana letak masalah nyatanya: seluruh kisah hidup saya, perjuangan untuk mempertahankan kendali, untuk melihat ke masa depan, untuk memprogram hidup saya; kepribadian saya yang dipaksa bekerja terlalu keras. Seiring dengan berjalannya waktu, kemampuan saya untuk mengukur pengaruh saya di dunia telah menjadi karya seni, tapi lanskap batiniah saya masih terasa seperti muncul di Lord of the Rings selama 24 jam penuh. Emosi berkelindan dengan pemikiran saya, dan emosi masih suka berpikir bahwa mereka menggambarkan realitas saya. Jadi, ketika saya ketakutan, memang wajar saya merasa begitu; dan ketika saya berduka atas potensi kehilangan, itu karena saya perlu bersiap-siap untuk berduka. Mungkin tak ada apa pun yang bisa terjadi pada diri saya yang tidak pernah saya bayangkan dalam berbagai bentuk. Saya telah melewati seluruh fase serta tahapan keterkejutan dan dukacita dan penderitaan dan pemulihan tanpa meninggalkan kenyamanan rumah saya. Dalam suatu cara, rasanya seperti gladi resik untuk tragedi kepribadian saya yang pasti akan terjadi. Saya bersiap-siao supaya tidak merasa tak berdaya ketika akhirnya menghadapi kehilangan itu. Dalam sejumlah masyarakat, persiapan kematian ini akan terjalin ke dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pengejawantahan alami karena menjadi manusia. Tapi kita hidup dalam budaya yang menyangkal kematian, dan kematian adalah sesuatu yang pribadi, semoga saja terjadi dengan tenang, tapi tidak untuk didiskusikan, dikenali, dihargai atapun diterima. Kita melawannya dengan pembedahan dan mesin penunjang hidup serta bahan kimia. Ada segelintir ritual untuk meringankan beban seseorang ketika menjelang kemarin, tapi ada banyak akal bulus untuk menjauhkan hal yang tak terelakkan. Maut diperlakukan sebagai musuh yang harus dikalahkan dan kita? memanfaatkan alat-alat heroik untuk menjaga diri tetap hidup berpapun harganya. Bahkan ketika kehidupan sudah usai, sistem kita mengalami kesulitan untuk mengakui kekalahan. Hidup telah menjadi pertempuran melawan kematian, alih-alih memandang kematian sebagai bagian organis dari kehidupan.
Bagi saya, ini tak bisa diterima. Jauh di lubuk hati, dibawah selubung ketakutan saya, terdapat rasa lapar akan ritme alami kehidupan, akan kelahiran, kehidupan dan kematian untuk menjadi suatu rangkaian kesatuan yang saya kenali dan rayukan. Karena jika saya gagal memandang kematian sebagai sesuatu yang tak terelakkan, saya tidak bisa menjalani hidup sepenuhnya; untuk menjalani hidup sepenuhnya diperlukan kesadaran akan ketidakkekalan dari segala hal di sekitar saya. Setiap momen, setiap pengalaman, setiap makhluk hidup hilang dan tak tergantikan, dan begitulah yang berlaku. Semesta tidak perduli pada keinginan saya untuk mengendalikan. Tapi saya masih butuh mengembangkan cukup kebijaksanaan untuk membantu saya melewati malam-malam kelam, untuk membantu saya menjinakkan ketakutan, dan untuk membantu saya menjalani apa yang baik saat ini, alih-alih mencemaskan neraka masa depan.
Saya memiliki banyak sekutu dalam perjuangan saya menghadapi kematian, penderitaan, dan entitas besar yang tak dikenali dengan tenang, tapi salah satu kekuatan paling dahsyat adalah seni meditasi Buddhis yang disebut Lima Fakta Kehidupan. Kata-katanya kadang sulit terbaca, dan bahkan lebih sulit lagi diterima, tapi mengandung kebenaran yang tak dapat disangkal, sehingga menenangkan pikiran saya dan membiarkan saya membuka tangan, melepaskan ketakutan, serta kembali menjalani hidup sepenuhnya.
0 Response to "MAUT DALAM KENDALI"
Posting Komentar