Menjelang Maut-Hampir Setahun Untuk Hidup-Dan Merasakan Kedamaian Kematian Melalui Meditasi
Saya merupakan salah seorang sahabat yang diberi tahu oleh sebut saja dia dengan "ABC" bahwa dirinya tidak akan hidup lagi pada awal tahun depan. Apa yang harus saya lakukan? Menelepon yayasan pencegahan bunuh diri? Membujuk dia agar tidak melakukannya? Pura-pura tenang? Memberitahunya betapa berarti hubungan kami bagiku (seolah-olah dia belum tahu saja)? Bagaimana dia menganggap apa yang kulakukan bersifat manipulatif dan tidak nyata?
Tidak seharusnya seorang manusia meninggalkan dunia ini dengan masih adanya urusan yang belum terselesaikan. Seharusnya ia menjalani hari demi hari seolah-olah itu adalah pengecekan sebelum penerbangan. Seharusnya ia bertanya setiap pagi, apakah aku siap untuk lepas landas?
-Diane Frolov and Andrew Schneider, Northern Exposure, All is Vanity 1991
Saat itu, kami duduk dan berbagi pengalaman masing-masing. Kisah-kisah singkat kami secara konsisten diikuti oleh periode pemusatan fisik dan penyingkapan ruang suci. Kami sering berbagi kisah, tapi malam ini agak berbeda, kami diminta berbagi pengalaman seolah-olah hari itu Januari 2020. Dengan kata lain, kami diminta menyampaikan resolusi tahun baru masing-masing seolah kami telah menjalaninya. Ketika kami sedang berbagi kisah, saya dilanda perasaan aneh. Dan ketika giliran saya tiba, saya berkata dengan bulu kuduk meremang, "Aku tidak akan berada di sini pada tahun 2020. Aku akan mati pada tanggal 2 Oktober tahun ini." Dengan pemikiran bahwa saya akan benar-benar mati pada bulan Oktober, saya menggambarkan bagaimana saya bermaksud menjalani tahun terakhir saya di bumi. Dan bersama dengan hal itu, dimulailah proses satu tahun untuk hidup bagi saya.
Yang menarik, ketika mendapat firasat awal bahwa saya akan meninggal dunia pada tanggal 2 Oktober, saya sama sekali tidak mengetahui tentang buku Stephen Levine yang berjudul Year to Live-Satu Tahun untuk Hidup. Begitu saya membacanya setelah berbulan-bulan kemudian, saya takjub dengan kemiripan proses serta persepsinya. Misalnya, saya mulai menulis jurnal kira-kira pada waktu yang sama dalam proses saya seperti dalam proses Stephen, memulainya dengan ulasan tentang kehidupan dan mengidentifikasi serta merelakan beban pada masa lalu saya. Saya menjadi lebih menerima mengenai apa yang ada sekarang sementara tahun itu berlangsung dan kesadaran saya berkurang.
Dalam sesi bicara itu, ketika melukiskan bagaimana saya telah melewati tahun 2019, mendadak sangat jelas bahwa saya tengah menggambarkan nilai-nilai terdalam dan jati diri saya. Saya tahu persis apa yang perlu saya penuhi dalam sisa satu tahun itu sebelum maut membawa saya.
Salah satu kesadaran yang muncul hari itu adalah bahwa hubungan persahabatan sangat penting bagi saya, dan bahwa saya ingin memperdalam hal itu. Jadi saya menggapainya dengan mengajak sahabat-sahabat saya keluar minum kopi, jalan-jalan atau mengobrol. Segera saja saya menyadari bahwa masyarakat kita yang bergerak cepat ini menyulitkan orang-orang untuk menyediakan waktu bagi kegiatan santai. Tapi saya sungguh menghargai mereka yang bersedia mengupayakannya. Percakapan kami sering kali berkisar pada topik substantif berkaitan dengan kesadaran yang semakin intens tentang keindahan, kerapuhan dan ketidakkekalan hidup.
Saya juga tahu bahwa saya harus mengakhiri hubungan percintaan jarak jauh saya dengan seorang lelaki. Dia membutuhkan jauh lebih banyak dari apa yang saya berikan. Setelah menghabiskan hari-hari bersamanya, saya selalu merasa terkuras secara emosi, fisik, dan spiritual. Saya harus kembali ke kos saya sendiri untuk mengumpulkan kembali jiwa yang terserak. Dalam kelompok terapi itu, saya menggambarkan bagaimana saya akan mengakhiri hubungan tersebut, dan saya melakukannya. Walaupun terasa sangat sesak didada.
Saya juga merasa sangat perlu untuk memaafkan diri sendiri serta cinta-cinta masa lalu atas pengkhianatan yang saya lakukan atau yang dilakukan terhadap saya. Saya juga merasakan jarak emosional dengannya, dan sebelum saya meninggal dunia, saya ingin merasa dekat dengannya dan ingin berperan serta di dalam hidupnya. Pada hari itu, saya tidak terlalu yakin bagaimana hal itu dapat terlaksana.
Saya membuat komitmen yang kuat untuk memulai hari-hari pada tahun terakhir saya dengan jogging dan mempraktikkan meditasi spiritual. Pengalaman meditatif saya mencakup merasakan kedamaian tentang kematian, dan ketakutan saya sebelumnya terhadap kematian pun sirna dengan sepenuhnya menghayati sukacita kehidupan.
Saya tiba dirumah sekitar pukul 12 tengah malam dan langsung tidur, tidak tahu apakah saya bakal bangun keesokan paginya. Pada saat membuka mata pada tanggal 2 Oktober, saya merasa ringan secara fisik dan luar biasa bahagia serta bersyukur karena masih hidup. Saya berhasil melewati hampir satu tahun untuk hidup dan melaluinya tanpa rasa sakit. Banyaknya pelajaran yang saya alami dalam waktu hampir satu tahun itu akhirnya menjadi bagian yang terintegrasi dalam hidup saya, saya menyadari bahwa hidup dan mati hanya berjarak satu tarikan napas, merasakan syukur yang mendalam karena bisa mengecap kehidupan tanpa merasa melekat padanya, bersukacita mengenai orak-arik keberadaan diri kita, memercayai kata hati dan intuisi, menghargai dan mengasihi sesama umat manusia, dan memiliki rasa belas kasihan atas penderitaan kita.
Tentu saja, tetap ada hari-hari yang memang benar-benar payah. Haha XD
Kita diingatkan untuk tidak bertahan pada saat ini, tetapi hanya untuk hidup didalamnya dan membiarkan alur semesta terbentang.
-David Bennett
Semoga tulisan aneh ini bisa bermanfaat dan kalian bisa ambil hikmah dari tulisan diatas. Enjoy! Kalo ada masukkan dan saran bisa tinggalkan komentar di kolom bawah. Makasih buat yang support blog ini. :)
0 Response to "Menjelang Maut-Hampir Setahun Untuk Hidup-Dan Merasakan Kedamaian Kematian Melalui Meditasi"
Posting Komentar