MENGINGKARI KEMATIAN
Mana yang lebih kuat, rasa takut atau pengharapan?
-Lance Armstrong
Saat menyusuri jalan bebas hambatan dua jalur, saya mengamati pepohonan yang luar biasa, yang baru-baru ini dipangkas dan dipendekkan dengan kehalusan bak lukisan indah seorang pelukis, pemandangan istimewa nan megah ini layak mendapat perhatian dan penghargaan khusus dari orang-orang yang lalu lalang. Pohon-pohon ini sudah ada sebelum saya lahir, dan tak diragukan lagi akan tetap menjadi pengamat yang bersemangat setelah saya tiada. Pada saat itu saya bertanya-tanya apakah orang lain yang melewati jalan ini juga akan meluangkan waktu dari perjalanan mereka yang padat untuk menyadari apa yang terhampar di hadapan mereka dalam keagungan absolut.
Saya tiba di tujuan saya di tebing laut yang menghadap ke laut lepas. Ombak mencium pasir berkarang di pantainya dengan sangat lembut, seolah-olah keduanya merupakan sepasang kekasih yang saling menyapa dengan pelukan mesra. Buih-buihnya terlihat seperti bagian atas segelas bir yang menyegarkan. Pemandangan gelombang demi gelombang yang menerpa bibir pantai terasa sungguh mendebarkan hati dan bisa memenuhi pikiran seseorang selama berjam-jam. Akankah saya mewariskan semua ini kepada anak-cucu saya kelak? Seseorang dapat memandangi ombak di lautan sampai kapan pun, mengamati polanya menjilati bebatuan dan merengkuh pasirnya, menyambut penghuni pantai yang bermandikan matahari, membujuk mereka agar memasuki kelembutan airnya yang menyegarkan.
Dengan semua keajaiban ini seolah-olah surga telah menyediakan selimut bagi makhluk-makhluk penghuni laut dalam. Keajaiban samudra, yang menjadi sumber begitu banyak kehidupan dan ketenangan, merupakan salah satu tantangan yang akan dihadapi manusia di masa mendatang. Pengusutan soal keajaiban ini tak diragukan lagi akan ditemukan setelah saya tiada, tapi saya ingin mengetahui rahasia-rahasia ini sekarang juga. Akankah saya meninggal dunia sebelum mengetahuinya? Akankah rahasia dari kedalaman akan pernah terungkap? Apakah rasanya seperti pencarian cawan suci? Saya akan berjuang agar bisa berumur panjang. Saya ingin masih hidup cukup lama supaya banyak pertanyaan yang menghantui saya akhirnya menemukan penyelesaian.
Dan dengan demikian beralihlah ke topik yang benar-benar membuat saya gila-bagaimana dengan orang-orang yang akan saya tinggalkan? Saya tidak bisa membayangkan hidup keluarga saya, istri, anak, dan cucu-cucu tanpa diri saya. Saya adalah jangkar bagi mereka-mekanisme penunjang mereka. Air mata saya, mereka saat merenungkan bagaimana nantinya masa depan mereka. Saya bertanggung jawab atas falsafah kehidupan mereka, kesejahteraan mereka-rasa amal dan kebaikan spiritual mereka kepada orang lain. Bagaimana mereka bisa melakukannya tanpa diri saya? Saya tidak boleh mati, saya harus selalu ada disini untuk mereka. Barangkali saya memang membuat kesalahan serius dalam hidup, dengan menjadikan diri saya begitu penting bagi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Saya mungkin telah menyediakan terlalu banyak kemudahan dalam kehidupan mereka, bukannya pemahaman bahwa kehidupan dapat menawarkan sejumlah perangkap. Siapa yang akan mereka cari ketika bencana terjadi kalau bukan saya? Saya tak tahan memikirkannya. Saya harus senantiasa berada di sini demi mereka.
Haruskah saya menghadapi kenyataan bahwa tak seorang pun hidup selamanya? Kalu menurut data stastik, orang seusia saya tidak memiliki banyak waktu yang tersisa. Tapi saya harus menentang data-data itu dan bertahan hidup- segalanya bergantung pada hal itu. Ketika waktunya tiba, akankah keluarga saya tenggelam dalam kesedihan? Akankah hal itu bertahan dalam kenangan mereka seumur hidup? Atau akankah mereka puas untuk melupakan ayah mereka yang telah tiada, ketika mereka menghitung pembagian aset yang akan ditinggalkan untuk mereka? Apakah mereka akan menjadi orang mata duitan yang bertengkar memperebutkan setiap sen yang diwariskan? Atau mereka akan bersyukur atas hidup bahwa bisa membuat masa depan mereka lebih nyaman? kadang pertanyaan ini diinginkan jawabannya, tapi bagaimana bisa mengetahuinya setelah tiada?
Saya takut mati, karena keingintahuan saya terhadap masa depan keluarga terasa begitu besar. Bagaimana saya bisa menyiapkan mereka atas sesuatu yang pasti terjadi? Dapatkah saya membuat pengaturan yang bisa saya kendalikan dari dalam kubur? Dalam analisis final, saya mesti memercayai pertimbangan matang mereka-kasih sayang mereka terhadap saudara sekandung mereka yang lain-perasaan mereka untuk berlaku adil, atau saya terlalu optimis? Berhubung saya takut mati, apa yang bisa saya lakukan? Say tahu-saya harus hidup sepanjang mungkin, dan menjaga kesehatan saya.
Pada akhirnya, saya harus meyakini bahwa setiap kerja keras saya selama ini untuk membesaran mereka akan memabwa kebaikan. Kalau memungkinkan, saya ingin kematian saya tidak terlalu traumatis. Kalau saya keliru, rasa sakit yang saya alami akan mengatakan bahwa saya tidak berbuat cukup banyak. Saya dapat menjelajahi dunia ntuk mencari ramuan ajaib untuk memperpanjang hidup, atau mungkin saya bisa melakukan apa yang keluarga itu lakukan ketika ia meninggal dunia, dan mengirim tubuh saya ke lokasi itu untuk dibekukan agar saya bisa bangun lagi, ada suatu waktu pada masa depan untuk melihat perkembangan apa yang telah terjadi selama ketidakhadiran saya. Untuk sementara ini, saya perlu melakukan apa pun yang harus saya lakukan, sehingga ketika pencabut nyawa tak bisa dihindari lagi, seluruh harapan saya telah terlaksana. Jelas sekali di titik ini, saya berada dalam tahap pengingkaran kematian, tapi saya harus mensyukuri dan menikmati setiap momen yang masih tersisa bagi saya.
Kenalilah apa tujuan kita dan yakinilah. Di ruang ini tak ada kebutuhan untuk berjuang demi hari esok. Keajaiban adalah hari ini. Selalu begitu.
-David Bennett
0 Response to "MENGINGKARI KEMATIAN"
Posting Komentar